Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya : Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. ~Lukas 15 : 29-30
…
picture from here |
Cerita tentang anak bungsu yang meminta bagian warisan
(padahal ayahnya masih hidup), kemudian pergi, menghabiskan seluruh hartanya,
dan kembali pada bapanya adalah salah satu kisah Alkitab yang saya sudah sering
dengar sejak saya kecil. Pada masa saya kecil, Nikita, seorang penyanyi cilik
rohani juga menyanyikan kisah si anak bungsu ini.
Kisah ini juga banyak diangkat sebagai tema pertobatan,
khususnya pada masa-masa Pra Paska seperti sekarang ini. Saya mendengar lagi
kisah ini seminggu yang lalu, saat beribadah di Gereja. Dulu, kisah ini selalu
saya maknai dengan keberdosaan saya – sama seperti si bungsu, saya sering
merasa seperti sedang tidak menyukakan hati bapa (BAPA). Tapi minggu yang lalu,
saya tandai Alkitab saya persis di ayat yang saya kutip di atas.
Si sulung ini menggambarkan kepribadian banyak sekali orang
(well, kadang saya pun begitu). Tidak percaya? Coba buka instagram para artis
atau sosok-sosok terkenal yang terkenal karena sensasinya. Berapa banyak orang
yang mencacinya karena hal yang mereka lakukan. Berapa banyak orang yang merasa
dirinya JAUH LEBIH BAIK dari orang yang mereka katai tersebut?
Baru seminggu yang lalu saya membaca lagi kisah ini, lalu
pada minggu itu juga berita tentang Audrey merebak. Seorang siswi SMP yang “katanya”
di siksa kakal kelasnya. Waktu membaca berita-beritanya (juga komen-komen pada
berita itu), saya menaruh prihatin pada para pelaku. Kenapa pelaku? Karena jelas
bahwa penyidikan saja belum selesai tapi mereka sudah dihakimi sedemikian
hingga. Ada yang membuat meme, ada yang me”hack” account salah satu pelaku lalu
membeberkan isi direct messagenya, ada juga yang mengata-ngatai para pelaku
dengan kata-kata yang semestinya tidak layak dilontarkan.
Lalu, apakah saya prihatin dengan Audrey waktu itu? Tentu saja
saya prihatin. Membaca beritanya saja waktu itu membuat saya menitikkan air
mata, memeluk anak perempuan saya, dan berdoa semoga hal seperti itu tidak
terjadi pada anak-anak perempuan lain. Juga, saya mewanti-wanti sesama guru
rekan kerja saya sehari setelah berita itu up untuk waspada pada bullying dan
bagaimana semestinya bersikap jika ada bullying di antara siswa.
Kemudian hasil visum Audrey keluar, semua orang menjadi
balik mencaci maki Audrey dengan menyesali tanda tangan petisi yang sudah
dibuat sebelumnya. Tanpa dicaci pun, Audrey dan terduga pelaku penyiksaan sudah
mengalami hari-hari berat. Tidakkah kita sadar, bahwa terkadang ucapan dan
perilaku kita terkadang sudah MENYULITKAN orang di sekitar kita?
Saya sedang berefleksi, saya harap teman-temanpun demikian.
Berapa dari kita yang merasa selalu benar? Merasa tidak
pernah salah? Merasa paling berkuasa melakukan segalanya?
Dalam cerita si bungsu, yang semestinya melakukan pertobatan
bukan hanya di bungsu, namun juga si sulung yang juga “hilang”, sama seperti
kita yang seringkali merasa paling benar.
Terlintas sekali lagi ucapan pak pendeta waktu itu,
“KASIHILAH SEMUA ORANG yang dikasihi ALLAH, WALAU menurut versi kita orang tersebut TIDAK LAYAK UNTUK DIKASIHI.”
Selamat menyambut Paska.
God bless you,